PROGRAM ICONPROGRAM ICON active
 
MUSIC SHOWCASEMUSIC SHOWCASE NEGATIVE
LAYAR TANCEPLAYAR TANCEP NEGATIVE
EXHIBITIONEXHIBITION NEGATIVE
 
WORKSHOPWORKSHOP NEGATIVE
FESTIVAL MEETINGFESTIVAL MEETING NEGATIVE
TALKSHOWTALKSHOW NEGATIVE
PERFORMING ARTPERFORMING ART NEGATIVE
 

RIMBANG BALING

RIAU

Sejak tahun 2011 kolektif seni Rumah Budaya Sikukeluang, yang diinisiasi oleh sekelompok seniman multidisiplin di Pekanbaru, Riau, berusaha untuk mendukung kemajuan gagasan seni dengan ruang lingkup yang lebih besar melalui pameran, festival, residensi seni, laboratorium seni, lokakarya, dan penelitian. Festival Rimbang Baling Merupakan Platform organisasi Sikukeluang yang berfokus pada kebudayaan lokal yang ada di kawasan suaka margasatwa bukit Rimbang dan bukit Baling maupun secara luas tentang masyarakat adat, sosial dan lingkungan yang ada di Riau. Selain festival musik, Rimbang Baling juga mengadakan berbagai program seperti destinasi wisata budaya, museum dan arsip, residensi seniman, dan pembinaan ekonomi dan kebudayaan masyarakat. Dukunglah festival ini dengan mengikuti hashtag #saverimbangbaling 

Since 2011, Rumah Budaya Sikukeluang art collective, a group of multidisciplinary artists in Pekanbaru, Riau, has attempted to support the advancement of artistic ideas with a larger scope through exhibitions, festivals, art residencies, art laboratories, workshops and research. The Rimbang Baling Festival is a platform by the Sikukeluang organisation which focuses on local culture in the Rimbang Hill and Baling Hill wildlife reserves as well as more broadly on traditional communities, and social and environmental issues in Riau. Apart from the music festival, Rimbang Baling also holds various programs such as cultural tourism destinations, museums and archives, artist residencies, and community economic and cultural development. Support this festival by following the hashtag #saverimbangbaling



RAMPAK GENTENG

MAJALENGKA

Jatiwangi adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Pada tahun 2005, Jatiwangi art Factory (JaF) didirikan dan aktif sebagai komunitas yang mempercayai praktik seni dan budaya kontemporer sebagai bagian dari wacana kehidupan lokal di pedesaan. Ragam kegiatan mereka selalu melibatkan masyarakat setempat, seperti festival video, festival musik, program residensi, forum diskusi, stasiun TV dan radio. Di abad ke-20, industri tanah liat menjadikan Jatiwangi sebagai daerah penghasil genteng terbesar di Asia Tenggara. Pada tahun 2005, dengan menggunakan tanah liat yang sama, JaF mendorong masyarakat Jatiwangi untuk menciptakan kesadaran dan identitas kolektif bagi wilayahnya melalui kegiatan seni dan budaya. Inilah pendorong JaF untuk memulai Festival Musik Keramik atau Rampak Genteng pada tahun 2012 di Jatiwangi, sebuah festival 3 tahunan sebagai perayaan lahirnya kebudayaan baru musik keramik. Rampak Genteng menjadi momen 'lebarannya' warga Jatiwangi, dimana ribuan warga ikut membunyikan genteng sebagai monumen sosial dan tanda dari kesepakatan bersama pembangunan identitas kota baru di Majalengka, "Kota Terakota", yang berbasis sumberdaya lokal. 

Jatiwangi is a sub-district in Majalengka Regency, West Java. In 2005, Jatiwangi art Factory (JaF) was founded and is active as a community that believes in contemporary art and cultural practices as part of life’s discourse in rural areas. Their various activities involve the local community, from video festivals, music festivals, residency programs, and discussions to TV and radio stations. In the 20th century, the clay industry made Jatiwangi the largest roof tile-producing area in Southeast Asia. Using the same clay in 2005, JaF encouraged the people of Jatiwangi to create awareness and collective identity for the region through arts and cultural activities. It was the impetus for JaF to start the Ceramic Music Festival or Rampak Genteng in 2012, a triennial festival to celebrate the birth of a new culture of ceramic music. Rampak Genteng became the 'Eid' moment for Jatiwangi residents, where thousands of residents joined in banging roof tiles as a social monument and a gesture of the joint agreement to build a new city identity in Majalengka, "Terracotta City", constructed on local resources.



PENTA KLABS

SEMARANG

Penta KLabs adalah festival seni 2 tahunan oleh Kolektif Hysteria yang diadakan di tempat pilihan dan melibatkan banyak pemangku kepentingan. Kegiatannya secara umum terdiri dari 3 acara utama, yaitu pameran atau projek seni, acara paralel, dan symposium. Penta KLabs rutin mengangkat berbagai isu sosial dan alam. Tujuan kegiatan Penta KLabs adalah merespon isu spesifik dengan pendekatan yang kompleks dan multilevel, menjembatani lintas pemangku kepentingan, memperlebar peran seni dalam masyarakat, meningkatkan kapasitas semua pihak yang terlibat, dan membuat pencipta karya individual maupun komunal menjadi lebih kontekstual dan relevan dengan keadaan. 

Penta KLabs is a site-specific art biannual festival by Kolektif Hysteria that involves multi-stakeholders. The festival activities generally consist of 3 main events: art exhibitions or projects, parallel events, and symposiums. Penta KLabs regularly raises various social and environmental issues. Penta KLabs activities aim to respond to specific topics with a complex and multilevel approach, bridging cross-disciplinary stakeholders, widening the role of art in society, increasing the capacity of all parties involved, and making the works of individual and communal creators more contextual and relevant to the situation.



SYNCHRONIZE FESTIVAL

JAKARTA

Synchronize Fest berawal di tahun 2000 dari semangat militan sekelompok anak muda yang mempelopori festival musik elektronik, lalu 9 tahun kemudian, di Februari 2009 berkembang jadi festival musik 3 hari yang menampilkan beragam aksi terbaik dari kancah hiburan musik hidup tanah air dibawah naungan David Karto, selaku pimpinan Demajors, label rekaman independen yang merupakan penggerak Synchronize Festival. Pada tahun 2016, Synchronize Fest tumbuh menjadi festival musik multi-genre tahunan berskala nasional yang mengundang puluhan ribu audience untuk merayakan keberagaman jenis musik hidup di lima panggung selama tiga hari, tiga malam, menikmati suguhan 100-an pertunjukan terkurasi dari artis-artis terfavorit dan terbaik tanah air yang datang dari dekade ’70-an, ’80-an, ’90-an hingga 2000-an. Seluruh genre musik populer bakal ditampilkan di Synchronize Fest. 

Synchronize Fest began in 2000 from the militant spirit of a group of young people who pioneered an electronic music festival, then 9 years later, in February 2009 it developed into a 3-day music festival featuring a variety of the best acts from the country's live music entertainment scene under the guidance of David Karto, as chairman of Demajors, the independent record label that is the driving force of Synchronize Festival. In 2016, Synchronize Fest grew into an annual multi-genre music festival on a national scale that invites tens of thousands of audiences to celebrate the diversity of live music on five stages for three days and three nights, enjoying hundreds of curated performances from their favourite artists and legendary local musicians that came from the '70s, '80s, '90s to the 2000s era. All popular music genres will be featured at Synchronize Fest.



KULA WORLDWIDE

MUMBAI

Pertemuan ini bertujuan untuk menampilkan praktik budaya, menyatukan berbagai komunitas untuk masa depan bersama, dan merayakan semangat upaya artistik meskipun ada tantangan. Di Kula, kami berkumpul untuk menghormati tradisi, budaya leluhur, sambil menghubungkan yang kontemporer dan yang modern. Kami sangat yakin untuk tetap teguh dalam budaya kami dan menjaga tradisi hidup seiring dunia yang mengalami banyak perubahan.

This gathering is about showcasing cultural practices, bringing communities together for a shared  future and celebrating the spirit of artistic endeavours despite the challenges. At Kula, we come together to pay respect to our traditions, ancient practices while connecting the contemporary and modern. We firmly believe in standing strong in our culture and keeping culture alive as the world goes through layers of changes.



JAGAKALI ART FESTIVAL

CIREBON

Jagakali Art Festival merupakan sebuah peristiwa kegiatan kampanye lingkungan hidup terkemas dengan pendekatan kreatif, kesenian dan kebudayaan sejak tahun 2007 yang diinisiasi oleh Sinau Art, sebuah komunitas seni dan budaya di Cirebon yang telah berdiri sejak 25 September 2006. Melalui festival ini, publik diajak merenungi kondisi lingkungan melalui aneka pertunjukan seni, workshop, pameran, penanaman pohon, bersih – bersih sungai hingga kegiatan lain yang berkaitan dengan isu lingkungan. Festival ini selalu mengajak kolaborasi banyak komunitas lintas disipliner lain yang memiliki pemikiran dan tujuan yang sama. Bersama-sama, Jagakali Art Festival mengajak semua untuk mencari jalan terbaik untuk membangun Keluarga Besar dalam aktivitas meraka, Konektivitas, Keberagaman, Keberlanjutan, dan Cara Baru dalam menjaga lingkungan.

Jagakali Art Festival is an environmental campaign celebration packed with creative, artistic and cultural undertakings since 2007 initiated by Sinau Art, an arts and cultural community in Cirebon established on 25 September 2006. This festival invites people to reflect on environmental conditions through various art performances, workshops, exhibitions, tree planting, river cleaning and other activities related to environmental issues. Jagakali Art Festival often collaborates with interdisciplinary communities with the same views and goals. Together, the Jagakali Art Festival invites everyone to find the best way to build a Big Family in their works, Connectivity, Diversity, Sustainability and New Ways of protecting the environment.



FESTIVAL SASTRA BANGGAI

LUWUK

Festival Sastra Banggai (FSB) adalah festival kecil di teluk Lalong Luwuk, sebuah kota tanpa toko buku. Festival yang dimulai sejak tahun 2017 ini diselenggarakan oleh Babasal Mombasa, komunitas yang bergerak untuk literasi, pendidikan, kebudayaan dan seni. FSB mempertemukan para penulis, pembaca, penerbit, kritikus, peneliti, aktivis literasi, komunitas, seniman, dan media dari berbagai latar belakang sosial, politik, dan budaya. Sepanjang pelaksanaannya, harapan FSB tetap sama yaitu menumbuhkan ekosistem belajar dan diskusi yang tidak hanya membincangkan hal-hal di sekitar, tetapi juga melihat jauh keluar dan melawat lebih intens ke dalam. Festival ini dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat—di ruang publik yang terbuka, dalam upaya mengakrabkan sastra dan mendekatkan literasi untuk semua dengan format yang menyenangkan dan bisa dinikmati semua kalangan.

Banggai Literature Festival (FSB) is a small festival in Lalong Luwuk Bay, a town without a bookstore. The festival, which started in 2017, is organized by Babasal Mombasa, a community that works for literacy, education, culture and arts. FSB brings together writers, readers, publishers, critics, researchers, literacy activists, communities, artists and media from various social, political and cultural backgrounds. Throughout its operation, FSB's hope remains the same, namely to foster a learning and discussion ecosystem that not only converses about things around them but also looks beyond and learns more intensely within. This festival is held amongst the people - in open public spaces, in an effort to familiarize literature and bring literacy closer to all in a format that is fun and can be enjoyed by everyone.



FESTIVAL BUDAYA LEMBAH BALIEM

WAMENA

Festival Budaya Lembah Baliem (FBLB) merupakan ajang atraksi budaya yang bertujuan mempromosikan Wamena sebagai daerah tujuan wisata. FBLB menampilkan jejak peradaban nenek moyang suku Hubula melalui berbagai atraksi kolosal seperti perang-perangan, permainan olah raga remaja (Sikoko dan Puradan) yang mengasah ketangakasan melempar tombak, atraksi Karapan Babi, atraksi masak tradisional, pagelaranseni tari dan musik tradisional. Puncak acara festival ini adalah sebuah karnival.

The Baliem Valley Cultural Festival (FBLB) is a cultural attraction event that aims to promote Wamena as a tourism destination. FBLB displays the cultural heritage traces of the Hubula tribe's ancestors through various colossal attractions such as tribal warfare reenactments, youth sports games (Sikoko and Puradan) which hone spear throwing skills, Pig Karapan, traditional cooking, as well as dance and music performances. The highlight of this festival is a carnival.



BANGSAL MENGGAWE

LOMBOK

Bangsal Menggawe adalah sebuah acara tahunan yang diinisiasi oleh yayasan Pasirputih sebagai sarana bagi warga masyarakat lokal di Pemenang, Lombok Utara, untuk menyalurkan ekspresi kulturalnya dalam bentuk pesta rakyat. Pesta ini secara spesifik memilih lokasi di Pelabuhan Bangsal atas pertimbangan bahwa area ini merupakan titik pertemuan yang menghubungkan berbagai ragam kehidupan masyarakat Pemenang sekaligus menjadi ikon budaya. Bangsal Menggawe diniatkan sebagai sebuah pesta rakyat yang akan dikelola oleh warga masyarakat secara gotong-royong atas dasar kepemilikan bersama. Kata Bangsal diambil dari nama sebuah pelabuhan di kecamatan Pemenang. Sedangkan Menggawe diambil dari bahasa Sasak yang berartı “berpesta”. Pesta ini melibatkan para seniman, aktivis kebudayaan, penulis dan peneliti untuk merespon sebuah isu tertentu yang kontekstual. 

Bangsal Menggawe is an annual event initiated by the Pasirputih Foundation as a means for residents in Pemenang, North Lombok, to channel their cultural expression in the form of a folk festival. This celebration specifically chose a location at Bangsal Harbor based on the consideration that this area is a meeting point that connects the various communities of the Pemenang people as well as being a cultural icon. Bangsal Menggawe is intended as a folk festival that is managed by community members in mutual cooperation on the basis of shared ownership. The word Bangsal is taken from the name of the iconic harbour in the Pemenang sub-district. Meanwhile, Menggawe is taken from the Sasak language which means “partying”. This celebration involves artists, cultural activists, writers and researchers to respond to a specific issue that is contextual.



FESTIVAL FILM PURBALINGGA

PURBALINGGA

Festival Film Purbalingga (FFP) merupakan sebuah festival tahunan yang diselenggarakan oleh Cinema Lovers Community, komunitas pecinta film di wilayah kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah yang berdiri pada tahun 2006.  FFP menghadirkan kompetisi film untuk pelajar SMA seputar Banyumas Raya sebagai ruang berekspresi. Program lainnya yang digelar adalah Kompetisi Pelajar Banyumas Raya, Non-Kompetisi se-Indonesia, Pemutaran Film Anak, dan Penghargaan Lintang Kemukus. Karya-karya film dalam Festival Film Purbalingga terus eksis menyuarakan kegelisahan dan semangat perjuangan dari akar rumput. Lewat program unggulannya, Layar Tanjleb, pemutaran film berkeliling ke desa-desa, kearifan lokal dilestarikan, ikatan sosial dipererat, dan ekonomi warga pun turut bergeliat. Melalui film, FFP memberikan tontonan dan tuntunan kepada masyarakat. Selain festival tahunan yang berjalan, FFP membangun ruang-ruang pemutaran dan diskusi yang dapat dinikmati masyarakat Banyumas Raya.

Purbalingga Film Festival (FFP) is an annual festival organised by the Cinema Lovers Community, a group of film lovers in the Purbalingga district, Central Java, founded in 2006. FFP presents a film competition for high school students around Banyumas Raya as a space for expression. Other FFP programs are the Banyumas Raya Student Competition, Non-Competition throughout Indonesia, Children's Film Screening, and the Lintang Kemukus Award. The films shown at FFP continue to express the anxiety and spirit of struggle from the grassroots. With its flagship program, Layar Tanjleb, film screenings travel to villages, local wisdom is maintained, social ties are strengthened, and the local economy also thrives. Through films, FFP provides entertainment and guidance to the public. In addition to the ongoing annual festival, FFP has organised screening and discussion spaces that the people of Banyumas Raya can enjoy.



BANDUNG PHOTOGRAPHY MONTH

BANDUNG

Raws Syndicate (RAWS SNDCT), yang didirikan pada tahun 2012, merupakan sindikat fotografi yang berpusat di Bandung. Mereka menggabungkan elemen sindikasi dan gerakan untuk membangun ekosistem fotografi yang kuat dan independen. Berfungsi sebagai laboratorium eksplorasi dan penelitian fotografi, RAWS SNDCT telah berkembang menjadi gerakan kolektif yang menyambut hangat para individu dari semua latar belakang. Selain kegiatan mereka lainnya, RAWS SNDCT juga menyelenggarakan festival fotografi tahunan yang disebut Bandung Photography Month (Bulan Fotografi Bandung). Festival ini menyediakan platform bagi para fotografer untuk memamerkan karya mereka dan berinteraksi dengan khalayak yang lebih luas. Dengan pengadaan secara reguler dan antusiasme, Bandung Photography Month telah menjadi acara penting dalam komunitas fotografi.

Raws Syndicate (RAWS SNDCT), founded in 2012, is a photography syndicate based in Bandung. It combines elements of syndication and movements to establish a robust and independent photography ecosystem. Serving as both a laboratory for exploration and photography research, RAWS SNDCT has evolved into a collective movement that warmly welcomes individuals from all backgrounds. In addition to its ongoing activities, RAWS SNDCT organizes an annual photography festival called Bandung Photography Month. This festival provides a platform for photographers to showcase their work and engage with a wider audience. With regularity and enthusiasm, Bandung Photography Month has become a significant event in the photography community.



Podcast 1: Grrrl Gang Special

Narasumber: Grrrl Gang
Moderator: Felix Dass

Pada 22 September 2023, Grrrl Gang merilis debut album penuhnya, Spunky!. Album ini dirilis sekaligus oleh empat label rekaman di empat teritori berbeda; Green Island Music di Indonesia, Trapped Animal untuk wilayah Inggris Raya dan Eropa, Big Romantic Records untuk Jepang dan Taiwan serta Kill Rock Stars untuk Amerika.

Podcast ini akan membahas bagaimana Grrrl Gang bekerja keras untuk menyebarluaskan musik mereka dan menemukan logika lokalisasi guna mencapai daya jangkau yang luas.

Podcast 1: Grrrl Gang Special

Speaker: Grrrl Gang

Moderator: Felix Dass

On September 22, 2023, Grrrl Gang released its debut full-length album, Spunky!. The album was released simultaneously by four record labels in 4 various territories: Green Island Music in Indonesia, Trapped Animal in the UK and Europe, Big Romantic Records in Japan and Taiwan and Kill Rock Stars in America.

This podcast will discuss how Grrrl Gang strived to spread their music and find the logic in localisation to achieve a broader reach.


Podcast 2: Musik Mengalir Sampai Jauh

Narasumber: Wok the Rock (Yes No Wave Music) dan Rendi Pratama (LaMunai Records)
Moderator: Felix Dass

Keunikan kesenian Indonesia selalu punya caranya sendiri untuk menemukan publik yang cocok. Beberapa tahun terakhir, Wok the Rock lewat bendera Yes No Wave Music dan Rendi Pratama bersama LaMunai Records, menjelma menjadi agen penyebaran musik dalam ruang berkaryanya masing-masing.

Mereka memberi banyak ruang untuk banyak musisi pendatang baru. Dalam dua tahun terakhir, setidaknya mereka telah merilis lebih dari 30 rekaman dan didominasi oleh band-band yang berasal dari generasi baru.

Ngobrol-ngobrol kali ini, akan membahas bagaimana proses penggalian talenta baru, pemilihan dan pertemuan dengan kecocokan selera. Lalu, bagaimana pula perspektif mereka berdua akan proses berkesenian yang dijalani.

Podcast 2: Music Goes a Long Way

Speaker: Wok the Rock (Yes No Wave Music) dan Rendi Pratama (LaMunai Records)
Moderator: Felix Dass

The uniqueness of Indonesian art has always had its way of finding a suitable audience. In the last few years, Wok the Rock with Yes No Wave Music and Rendi Pratama with LaMunai Records, have become agents for spreading music in their respective creative spaces.

They provide many spaces for numerous up-and-coming musicians. In the last two years, they have released at least 30 recordings dominated by bands from the new generation.

In this session, we will discuss the processes of exploring new talents and finding or meeting with comparable tastes. What are their perspectives on the artistic processes they are undertaking?


Podcast 3: Festival is Laif

Narasumber: Andre Tully, Festival Sastra Banggai, Festival Rimbang Baling
Moderator: Mirwan Andan

Festival selalu tentang perayaan akan hidup. Wajahnya bisa beranekaragam; tergantung kebutuhan. Yang dikandung pun bisa macam-macam. Tapi yang pasti, ia punya tujuan untuk mengajak orang banyak jadi satu dalam sebuah perayaan.

Berhubungan dengan Festival Meeting yang digagas oleh RRREC Fest in the Valley 2023, talks ini akan membahas serba-serbi festival dari kacamata pengorganisasian. Apa saja yang kemudian menjadi benang merah yang senada dan selaras di soal pengidean yang kemudian bisa jadi inspirasi untuk satu sama lain.

Podcast 3: Festival is Laif

Speaker: Andre Tully, Festival Sastra Banggai, Festival Rimbang Baling
Moderator: Mirwan Andan

Festivals are always about celebrating life. Their types can be varied; depending on their requirements. What is contained can vary. But what is certain is that he has a goal to invite many people to become one in a celebration.

In connection with the Festival Meeting initiated by RRREC Fest in the Valley 2023, this talk will discuss various aspects of the festival from an organizing perspective. Anything that then becomes a common and harmonious thread in the matter of ideas which can then become an inspiration for each other.


Talks 1: Memang benar bisa bertemu di tengah?

Narasumber: RIMBA dan Rifky Ikiw
Moderator: TBC

Bekerjasama dengan brand/sponsor/pemodal/negara, kadang punya romantikanya sendiri. Di masa lampau, seperti sering diwariskan ceritanya, brand/sponsor/pemodal/negara, kerap kali diposisikan dengan fragmen us vs. them.

Kedua nama ini, punya ikatan yang terang dengan Supermusic, salah satu sponsor RRREC Fest in the Valley 2023 ini. Bagaimana kerjasama mereka berlangsung? Sejauh mana seniman dan brand/sponsor/pemodal/negara bisa bersisian mewujudkan keinginan masing-masing?

Bagaimana pula dengan dialog yang bisa dipraktikkan dalam keseharian di lapangan? Apakah sisi artistik bisa menjadi ruang negosiasi kepentingan tersebut?

Talks 1: Can We Really Meet in The Middle?

Speaker: RIMBA dan Rifky Ikiw
Moderator: TBC

Collaborating with brands/sponsors/financiers/governments sometimes has its romance. In the past, as the story is often told, brands/sponsors/financiers/governments were often positioned in the us vs. them mentality.

These two names have clear ties to Supermusic, one of the sponsors of RRREC Fest in the Valley 2023. How does their collaboration work? To what extent can artists and brands/sponsors/financiers/governments work together to realize their respective desires?

What about the dialogue that can be realised every day in the field? Can the artistic side be a space for negotiating these interests?


Talks 2: Yang etnik, yang kontemporer

Bekerjasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Narasumber: tod, Rani Jambak
Moderator: Dimas Ario

Kebudayaan adalah kata benda yang selalu terbarukan. Ia hadir karena perilaku manusia dalam ruang lingkup tertentu.

Di musik, ada banyak seniman yang terus menjadikan kebudayaan asalnya sebagai pegangan penting dalam proses berkaryanya. Kemasan mediumnya kemudian bisa macam-macam dan berkembang sesuai dengan eksplorasi artistik yang jadi pengalaman masing-masing.

Kebudayaan, kedaerahan dan kesenian berbasis tradisi, kini tidak melulu menjadi sesuatu yang kolot dan ditinggal oleh zaman.

Ia punya ruang untuk dinikmati, dijadikan refleksi dan punya peran beraneka ragam dalam hidup pendengarnya. Bagaimana kemudian ia bertemu dengan publiknya hari ini?

Talks 2: The Ethnic, The Contemporary

Speaker: TOD, Rani Jambak
Moderator: Dimas Ario

Culture is a noun that is always renewable. It manifests from human behaviour within a certain scope.

In music, many artists continue to use their native cultures as important principles in their creative processes. The packaging of their mediums can then vary and develop according to the artistic exploration that each of them experiences.

Culture, regionalism and tradition-based arts are no longer just something old-fashioned and left behind by the times.

It has space to be enjoyed, used for reflection and has various roles in the lives of its fans. How then does it meet its public today?


Talks 3: R.E.M. Special

Narasumber: Rien Djamain, Ermy Kullit dan Margie Segers
Moderator: Dimas Ario

RRREC Fest in the Valley 2023 secara khusus menghadirkan penampilan spesial dari tiga penyanyi perempuan penting Indonesia; Rien Djamain, Ermy Kullit dan Margie Segers. Trio insidental ini bernama R.E.M.

Mengajak legenda tampil di depan generasi yang berbeda usia, merupakan salah satu tradisi yang coba terus dihidupkan oleh RRREC Fest in the Valley.

Dalam ruang waktu yang tidak lama, ketiganya akan menceritakan perjalanan panjang karir bermusik, keseruan turun-naik panggung di berbagai tempat di Indonesia hingga pandangan terhadap scene penyanyi perempuan Indonesia yang tidak pernah mati dan terus menerus memberi ruang pada benih-benih baru untuk muncul dan merekah.

Sebagai salah satu agenda di hari penutup festival, perbincangan santai ini tidak bisa dilewatkan begitu saja.

Talks 3: R.E.M. Special

Speaker: Rien Djamain, Ermy Kullit dan Margie Segers
Moderator: Dimas Ario

RRREC Fest in the Valley 2023 specifically presents a special showcase for three important Indonesian female singers; Rien Djamain, Ermy Kullit and Margie Segers. This by-chance trio was dubbed R.E.M.

Inviting legends to appear in front of a multi-generational audience is one of the traditions that RRREC Fest in the Valley tries to keep alive.

In a brief interview, the three ladies will share their lengthy journey in music, the rush of going on and off stage in various places in Indonesia, to their views on the Indonesian female singer scene which never dies and continuously gives space for new seeds to emerge and bloom.

As one of the agendas on the closing day of the festival, this casual conversation cannot be missed.


JAKARTA WASTED ARTISTS (JWA)

JAKARTA

Terikat oleh latar belakang sosial, ekonomi, politik dan sejarah yang sama, empat anggota Jakarta Wasted Artists (JWA) membentuk grup ini pada awal tahun 2010.Sesuai namanya, JWA adalah sekelompok seniman visual yang tinggal dan berkarya di kota terpadat dan tersibuk di Indonesia serta kota terpadat di Asia Tenggara: Jakarta. Dalam berkarya sambil bermain, JWA mengambil dan mengekstrak isu-isu terpinggirkan dalam konteks perkotaan sebagai isu penting untuk dirumuskan menjadi sebuah karya seni atau peristiwa seni.

Bound by the same social, economic, political and historical background, four members of Jakarta Wasted Artists (JWA) formed this group in early 2010. As the name suggests, JWA is a group of visual artists who live and work in the most densely populated and busiest city in Indonesia and the most populous city in Southeast Asia: Jakarta. In creating while playing, JWA takes and extracts marginalized issues in the urban context as important issues to be formulated into works of art or art events.



RIFKY NUGRAHA

SUKABUMI

Rifky Nugraha yang lebih sering dipanggil IKIW berasal dari Kuningan, Jawa Barat, namun sekarang tinggal di Sukabumi. Ia seorang pengajar dan illustrator. Karya-karyanya didominasi dengan komposisi yang padat dan eksploratif dengan objek yang beragam. Untuk workshop yang dipandunya dalam salah satu program dari RRREC Fest in The Valley 2023, IKIW akan mengajak para peserta berkarya gambar diatas sticker dan membuat sticker pack sendiri.

Rifky Nugraha, who is often called IKIW, comes from Kuningan, West Java, but now lives in Sukabumi. He is a teacher and illustrator. His works are dominated by dense and exploratory compositions with a variety of objects. For the workshop he is giving in one of the programs of RRREC Fest in The Valley 2023, IKIW will invite participants to create images on stickers and make their own sticker packs.



RURUKIDS

JAKARTA

Dimulai pada tahun 2010 oleh ruangrupa, RURUKIDS mengelola program seni berbasis pendidikan yang ceria, edukatif dan inovatif untuk anak dan remaja. Saat ini berlokasi di kawasan Gudskul Ekosistem di Jakarta, Indonesia, RURUKIDS menyatukan para seniman dan anak-anak dalam lingkungan aspiratif untuk belajar dan bereksplorasi dengan cara yang menyenangkan.

RURUKIDS mengembangkan aktivitas dengan seniman untuk berbagi praktik artistik mereka dengan anak-anak melalui eksplorasi kreatif dan pengalaman-pengalaman yang menstimulasi. Bagi RURUKIDS, aktivitas berbagi dan usaha besama sangatlah penting, dan semua program mereka bertujuan untuk mendorong kepercayaan diri juga kemampuan anak untuk berani berekspresi dengan menyediakan lingkungan belajar yang aman dan baik.

Started in 2010 by Ruangrupa, RURUKIDS manages a cheerful, educational and innovative art-based program for children and teenagers. Currently based in the Gudskul Ecosystem location in Jakarta, Indonesia, RURUKIDS brings artists and children together in an aspirational environment to learn and explore in a fun way.

RURUKIDS develops activities with artists to share their artistic practices with children through creative exploration and stimulating experiences. For RURUKIDS, sharing and working together are very important, and all their programs aim to encourage children's self-confidence and their ability to be more brave in expressing themselves by providing a safe and good learning environment.



PERSATUAN LAYAR TANCEP INDONESIA

Persatuan layar tancep Indonesia (PLTI) didirikan sejak 2014 yang berangkat dari laman grup Facebook dengan perkiraan anggota lebih dari 18.000. PLTI dihadirkan untuk menjadi wadah silahturahmi operator dan pengusaha layar tancap. Salah satu kegiatan yang rutin dilakukan sesama anggota grup adalah dengan membuat "arisan film" Dalam rangka mempererat tapi silahturahmi sembari memutar film layar tancap.

RRREC Fest In The Valley 2023, kali ini mengajak salah satu anggota dari PLTI, yang bernama Nur Lyan untuk terlibat dalam program layar tancap yang akan diadakan Sabtu, 7 Oktober 2023 di lapangan volley desa Cikeramat. Selain mengajak PLTI - Nur Lyan, kami juga mengajak warga Cikeramat yang untuk terlibat langsung dalam program Layar tancap kali ini.  Warga Cikeramat akan menjadi peserta workshop untuk pemasangan layar tancap dan juga selektor film yang akan ditayangkan di area lapangan volley milik warga Cikeramat. Dari 450 judul film yang dimiliki PLTI - Nur Lyan, RRRecfest 2023 dan warga Cikeramat memilih film Sangkuriang, Jaka Gledek, Sikabayan dan gadis kota, Jaka Swara dan rawing yang akan diputar dengan proyektor 35mm, pengeras suara dan cuaca Cikeramat yang dingin.

Indonesian Outdoor Screening Association, or Persatuan Layar Tancep Indonesia (PLTI), was founded in 2014, starting from a Facebook group page with an estimated membership of more than 18,000. PLTI is a forum for friendship between operators and outdoor screening entrepreneurs. One of its routine activities carried out by the group members is organising "Film Get Together" to strengthen friendships while enjoying outdoor film screenings.

RRREC Fest in The Valley 2023 invites one of the members from PLTI, Nur Lyan, to be involved in an outdoor screening (Layar Tancep) program held on Saturday, 7 October 2023 in Cikeramat, a village located close to the festival location. Apart from inviting PLTI, we call for the Cikeramat residents to be directly involved in the Layar Tancap program. Cikeramat residents will participate in a workshop on installing an outdoor screening and select the films that will be shown on the volleyball court that belong to the Cikeramat residents. Of the 450 film titles owned by PLTI, RRREC Fest in The Valley 2023 and Cikeramat residents have chosen the films Sangkuriang, Jaka Gledek, Si Kabayan dan Gadis Kota, Jaka Swara and Rawing, all of which will be played using a 35mm projector, loudspeakers and the chilly Cikeramat temperature.



WAYANG SUKURAGA

SUKABUMI

Wayang Sukuraga diciptakan oleh Efendi Sukuraga, seorang seniman lukis asal Sukabumi, Jawa Barat. Efendi mengembangkan bentuk dasar wayang dan mulai tampil untuk masyarakat umum sejak tahun 1997. Wayang Sukuraga (Suku = Anggota, Raga = Badan), sendiri merupakan sebuah tokoh pewayangan yang terdiri dari anggota badan, seperti mulut, mata, telinga, tangan kanan, tangan kiri dan kaki. Filosofi dari bentuk wayang kulit ciptaan Efendi merupakan sebuah penggambaran sekaligus perenungan dari pribadi manusia melalui bentuk anggota tubuhnya. Ini dilakonkannya sebagai petunjuk kehidupan dalam membawa pesan kebaikan. Selain itu dalam setiap pertunjukanya, Wayang Sukuraga selalu diiringi oleh alat musik lengkap (tradisional dan modern). Pertunjukkan juga didukung oleh dalang yang memainkan langsung di panggung tanpa melalui mediator kain putih dan cahaya seperti yang biasa dijumpai dalam pertunjukan wayang. 

Wayang Sukuraga was created by Efendi Sukuraga, an artistic painter from Sukabumi, West Java. Efendi developed the basic form of wayang and began performing for the general public in 1997. Wayang Sukuraga (Suku = Member, Raga = Body) is a wayang character consisting of body parts, such as mouth, eyes, ears, right hand, left hand and feet. The philosophy of the wayang form created by Efendi is a depiction and reflection of the human person through the shape of his body parts. He did this as a guide to life in carrying a message of goodness. Also, in every performance, Wayang Sukuraga is accompanied by a set of musical instruments (traditional and modern). His performances are also led by a puppeteer who plays directly on the stage without using white cloth and light as a mediator, something that is usually found in wayang performances.